Minggu, 28 November 2010

Perjalanan Spiritual


Minggu lalu saya nengikuti perjalanan liburan bersama rombongan dari suatu Instansi Pemerintah. Walaupun bukan tempat saya bekerja, tapi saya mengenal semua anggota rombongan tersebut. Jumlah anggota rombongan ada 18 orang, 4 di antaranya perempuan menikah termasuk saya.
Salah satu perempuan adalah seseorang yang sedang bermasalah dengan saya. Saking marahnya, saya pernah menegur beliau dengan sindiran yang cukup memerahkan mukanya karena malu. Saat itu saya (dan semua orang yang ada di sekitar saya) merasa apa yang saya lakukan sudah benar karena beliau telah menyakiti hati saya. Namun akibatnya ternyata fatal. Beliau yang saya anggap tidak punya rasa malu, ternyata merasa dipermalukan oleh saya dan bercerita kepada semua teman dekatnya betapa jahatnya saya.
Pada liburan tersebut sang ibu selalu dikawal oleh atasannya dan rekan kerjanya, kemanapun beliau pergi. Jika pada suatu saat beliau berpapasan dengan saya, maka atasannya akan langsung membuat barikade yang menghalangi saya dengan beliau. Ketika seorang ibu lain bertanya kepada beliau, beliau menjawab bahwa mereka takut saya akan berbuat seperti dulu lagi, mempermalukan dia di depan umum.
Saya kemudian berfikir, bukankah selama ini saya korban dari perbuatan dia? Mengapa jadi dia yang mendapat perlindungan? Apakah salah, jika saya menyerang orang yang telah mencuri barang berharga milik saya?
Ternyata manusia dilengkapi dengan nurani yang tidak mengijinkan seseorang menyakiti orang lain, meski orang yang disakiti itu orang yang biasa menyakiti hati orang-orang. Contohnya saya, meskipun beliau pernah menghancurkan kehidupan pribadi saya, ketika saya menyerang beliau dengan cara yang tidak etis tetap saja saya salah. Bahkan orang-orang akan lebih melindungi beliau, karena cara beliau menghancurkan saya begitu santun dan manis. Bukan dengan cara barbar seperti yang saya lakukan.
Perjalanan itu memberi pelajaran yang berharga bagi saya. Saya akhirnya menyadari jika ada seseorang melakukan kesalahan kepada saya, saya tidak berhak menghukum mereka karena itu bukan tugas saya. Yang berhak menentukan apakah mereka perlu dihukum atau tidak hanyalah Allah semata. Saya hanya perlu menyerahkan semua kepada Allah, dan membiarkan Allah menyelesaikannya karena Dia mempunyai cara yang maha adil. Saya hanya tinggal berdoa memohon perlindungannya agar dijauhkn dari hal-hal demikian.
Pelajaran itu disampaikan oleh seorang ibu yang satu kamar dengan saya dan itu merupakan pencerahan bagi saya. Ibu lain yang sekamar dengan beliau menyampaikan kepada saya bahwa beliau mengatakan, seharusnya saya berbuat baik kepada beliau agar beliau merasa malu telah menyakiti hati saya. Ah, saya belum mempunyai kekuatan untuk melakukan itu..........

Rabu, 22 September 2010

Kuasa Allah......

Pada suatu masa, saya dan suami mempunyai keinginan yang begitu kuat untuk menunaikan ibadah haji. Suami begitu bersemangat untuk menabung demi mewujudkan keinginan kami tersebut. Beberapa teman menunjukkan jalan dan memberikan saran. Pada saat tabungan sudah terkumpul, seorang saudara memohon bantuan modal dan menjanjikan akan mengembalikan berikut bagi hasilnya pada saat kami harus melunasi BPIH. Namun janji itu tidak dapat dipenuhi, bahkan usaha lain yang kami andalkan sebagai cadangan juga tidak sesuai harapan. Pada saat-saat terakhir, biaya yang harus kami bayar semakin mahal dan nilai tukar dolar semakin naik. Kami semakin tak sanggup membayarnya. Tahun ini kami kembali menabung, untuk keberangkatan tahun depan. Pada saat itu, bank tempat kami membayar BPIH memberi tahu bahwa kami termasuk calon jemaah haji yang dapat diberangkatkan tahun ini karena ada 200 orang yang mengundurkan diri. Kami bingung, karena pada saat yang bersamaan sulung kami akan berangkat melanjutkan sekolahnya ke tempat yang jauh. Kami sudah mempersiapkan keberangkatannya dan menunda keinginan beribadah haji sampai tahun depan. Tapi itu bukan masalah besar, karena saya yakin Allah akan memberikan jalan, jika kami bersungguh-sungguh. Alasan suami ketika menolak tawaran bank adalah : "saya belum siap mental....." membuat saya menangis. Ternyata, masalah yang dianggap sebagai gangguan sesaat pada rumah tangga kami telah merusaknya lahir batin. Beliau telah menganggap dirinya kotor sehinga tidak berani untuk melakukan ibadah tersebut. Kembali kami menunda keinginan tersebut, entah sampai kapan. Walaupun aturan menjanjikan kami bisa berangkat tahun depan. Allah akan memberikan apa yang kita minta sesuai dengan usaha kita. Mungkin secara lahir, kami nampaknya menyiapkan diri secara serius. Namun secara batiniah, kami mungkin tidak pernah menyiapkan hati kita untuk ibadah haji. Astagfirullah.........laa haula wala quwwata illa billah......

Jumat, 28 Mei 2010

KEHILANGAN


Hari Kamis, 27 Mei 2010, keluarga besar suami saya kehilangan putera keduanya. Mas Amin Syahri meninggal dunia pada usia 51 tahun. Beliau meninggalkan seorang isteri dan lima orang puteri yang masih sekolah. Kepergian beliau membuat kami semua sangat kehilangan. Namun, tentu saja kami tidak bisa terus meratapi kepergian beliau karena kelanjutan hidup kelima gadisnya memerlukan pemikiran kami semua.

Ada hikmah yang luar biasa dari kepergian beliau. Melihat isteri dan anak-anak Mas Amin berkumpul di satu pojok dan keluarga besar bergerombol di pojok lain, membuat hati saya bertanya-tanya : mengapa kehilangan orang yang sama-sama kami cintai tidak dapat menyatukan kami semua? Rasanya kami sibuk dengan perasaan duka masing-masing sehingga kami lupa ada yang lebih kehilangan dibanding kami.

Mas Amin adalah orang yang senang membantu. Bagi beberapa orang adiknya (termasuk suami saya) Mas Amin adalah "bapak kedua", yang selalu menyediakan segala yang diperlukan adik-adiknya. Dalam kondisi apapun beliau selalu bisa membantu keluarga besarnya.
Mas Amin juga suami dan ayah yang telaten bagi isteri dan kelima puterinya. Selain pencari nafkah utama, beliau juga yang menyelesaikan masalah di rumah maupun sekolah anak-anaknya. Bagi keluarganya, beliau adalah segalanya.

Masing-masing dari kami merasa kehilangan, tapi rasa kehilangan keluarga besar dengan rasa kehilangan keluarga Mas Amin ternyata tidak sama. Kami merasa memiliki Mas Amin dengan cara kami masing-masing, karena ternyata kami semua bergantung pada beliau sesuai dengan kebutuhan kami. Kehilangan beliau membuat kami harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa pada beberapa hal kita tidak bisa egois, kita harus berbagi karena apa yang kita anggap milik kita ternyata juga dimiliki orang lain......

Kamis, 11 Juni 2009

Manohara dan Tanggung Jawab Menjadi Ibu


Beberapa minggu terakhir ini media massa Indonesia dihebohkan dengan berita tentang Manohara Odelia Pinot, seorang gadis blasteran Indonesia - Perancis yang ngomong bahasa Indonesia saja syusyah. Selain kecantikan Manohara, perjuangan Ibu Desi (ibundanya Manohara) membuat saya takjub. Saya membayangkan, andaikata Nabilah (puteri sulung saya) yang mengalaminya, apakah saya akan berjuang sekeras Ibu Desi? Apakah saya akan berupaya sekuat beliau? Barangkali itulah sebabmya kenapa setiap muslim mempunyai kewajiban 3x lebih besar kepada ibu dibandingkan dengan kepada bapak.
Namun, perkembangan berikutnya membuat saya juga curiga, tentang niat baik Ibu Desi (maaf, Bu). Apa sebenarnya yang dicari oleh beliau? Keadilan untuk anaknya atau popularitas untuk membuka pintu karier anaknya? Entahlah.... hanya beliau dan Allah saja yang tahu. Pada saat ini saya hanya ingin berbagi pengalaman tentang perasaan seorang ibu yang bercampur dengan perasaan sebagai seorang perempuan.
Saya mempunyai dua orang puteri, satu orang siswi SLTA dan yang bungsu masih SD. Puteri sulung saya sangat banyak maunya. Dia senang berkegiatan di luar rumah dan mempelajari banyak hal. Adiknya mempunyai minat yang berbeda, senang berkegiatan di dalam rumah. Bahkan lebih sering membawa teman-temannya ke rumah. Koleksi mainannya lebih banyak karena tabungannya lebih banyak dibelanjakan untuk mainan. Setiap saya tawari untuk mengikuti les, dia akan balik bertanya :"aku masih punya waktu buat main ngga?" Kebetulan rumah kami di perumahan RSS, yang banyak anak-anak sebaya puteri kami dan semua pintu selalu terbuka untuk tetangga. Ikatan antar-anak cukup erat hingga seringkali sulit untuk menarik mereka dari arena permainan.
Demi alasan efisiensi, saya seringkali memaksa si bungsu untuk mengikuti kegiatan yang sama dengan kakaknya. Dia memang tidak pernah protes (kecuali untuk les vokal), tapi sulit berprestasi sebaik kakaknya. Pada saat melihat dia bosan dan tanpa minat, saya sering kali kesel dan prihatin. Pada saat itu saya kadang bertanya dalam hati : "apakah yang saya lakukan demi anak saya atau ambisi terpendam saya?" Saya selalu mengajak mereka mengikuti suatu kegiatan karena ingin memberi masa kecil yang indah tanpa melihat apakah mereka berdua memang menginginkannya atau tidak. Saya selalu merasa bahwa kedua puteri saya tidak pernah bisa membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Karena saya ibunya, wajar dong saya lebih tau apa yang mereka butuhkan. He he he, padahal kalau dipikir-pikir saya kan bukan dukun... yang tidak bisa membaca fikiran orang. Selain itu saya kok, kalau istilah si sulung, underestimate sama mereka? Masa mereka sampai tidak tahu apa yang mereka butuhkan?
Saya akhirnya berfikir, andaikata saya selalu merasa anak-anak saya tidak bisa memutuskan apa yang terbaik untuk mereka, berarti saya telah gagal mendidik mereka menjadi manusia mandiri. Tapi andaikata saya mempercayakan keputusan tentang hidup pada mereka sendiri, apakah saya masih menjadi ibu buat mereka?

Senin, 01 Juni 2009

Fenotipe atau Penampilan

Dalam Genetika, fenotipe berarti penampilan suatu organisme sebagai akibat dari ekspresi gen dan pengaruh lingkungan. Seorang anak yang mempunyai IQ tinggi belum tentu bisa membaca, jika sejak kecil tidak pernah diperkenalkan pada huruf dan tulisan. Demikian juga, seorang anak yang mempunyai kulit yang mulus, jika tidak dirawat maka kulitnya akan rusak.
Dalam pandangan manusia, ada satu faktor lagi yang menentukan fenotipe, yaitu rasa. Misalnya, tidak semua orang mempunyai pendapat yang sama tentang "cantik". Cantik menurut seorang pria, belum tentu cantik menurut kelompok wanita. Bahkan di antara sesama pria pun, kadar cantik menjadi relatif. Orang yan menyukai Dewi Persik akan mengatakan bahwa dia cantik dan seksi tetapi orang yang tidak menyukainya akan mengatakan dia seperti perempuan, maaf, murah.
Seorang suami yang mencintai isterinya akan mengatakan isterinya cantik, walaupun pake daster lusuh dan bau terasi karena baru selesai masak. Tapi ketika dia sudah tidak mencintai istrinya lagi, maka seindah apapun baju tidur yang dipakainya dan sewangi apapun parfum yang digunakannya tetap saja terasa membosankan.
Jadi, penampilan seseorang tidak hanya disebabkan karena struktur wajah dan tubuh yang proporsional, kulit yang putih, bersih, dan sehat. Tapi juga disebabkan oleh rasa dan selera orang yang melihatnya

Selasa, 26 Mei 2009

Tambah Teman, Tambah Luas Cakrawala


Blog saya dikunjungi seseorang yang pernah jadi teman sekelas. Saya senang karena ternyata beliau masih mau mengingat saya. Memang, diingat teman artinya ada pengakuan tentang keberadaan kita. Tambah teman artinya bertambah pula sumber informasi, bertambah pula sumbangan pendapat. Bukankah kita seringkali bingung memutuskan sesuatu dan butuh pendapat orang lain sebagai bahan pertimbangan?
Pada saat berhadapan dengan masalah, saya sering kali berdoa agar dipertemukan dengan seseorang yang dapat memberikan saran untuk menyelesaikan masalah dan bukan malah menambah masalah. Kadang saya menemukannya, tapi sering pula malah menemukan yang sebaliknya. Atau bahkan seringkali ada orang yang sepertinya akan membantu tapi sebenarnya dia memanfaatkan masalah kita untuk menyelesaikan masalahnya. Menghadapi teman yang demikian tentu makin membuat masalah tambah melebar.
Namun demikian, pasti ada hikmah yang bisa dipetik untuk teman yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita belajar bersabar, belajar bahwa bukan cuma kita yang bermasalah dan belajar memandang masalah kita dari titik pandang yang tepat. Dengan demikian kita akan tahu seberapa besar masalah kita yang sebenarnya. Jangan-jangan selama ini kita memandang masalah kita terlalu dekat sehingga nampak sangat besar.
Menurut pengalaman saya, teman yang baik bisa memperlihatkan masalah kita dari sudut pandang yang lain, yang seringkali tidak kita sadari. Mereka biasanya menjelaskan semua resiko yang mungkin akan kita hadapi, pada saat kita akan mengambil keputusan. Teman yang baik, bisa menerima kita apa adanya, lengkap dengan segala kekurangan kita

Senin, 18 Mei 2009

What's A Friend A For



Tadi siang ada 13 orang perempuan Bandung datang ke rumah. Beberapa di antaranya adalah teman SMA saya di SMAN Ujungberung dulu. Tanpa saya sadari, meluncurlah laporan tentang masalah yang sedang saya coba selesaikan. Mungkin karena berada di antara mereka saya jadi serasa di SMA, bisa bercerita apa saja dan berbagi apa saja. Ada di antara mereka yang menganggap saya orang yang kuat, yang bisa menghadapi masalah dengan tegar. Sayang saya tidak bisa bercerita secara detail pada mereka. Padahal, andaikata mereka tahu berapa liter air mata yang sudah saya keluarkan untuk masalah itu, tentu mereka tidak akan beranggapan seperti itu. Saya bisa setegar ini karena saya punya banyak teman, antara lain mereka.
Teman bisa meyakinkan saya bahwa saya orang yang dipilih Allah untuk dinaikkan derajatnya. Mereka menganjurkan kepada saya untuk selalu bersyukur karena yang yang diuji, bukan sebagai alat untuk menguji orang lain. Bayangkan apa jadinya kalau saya yang menjadi perempuan itu, pasti saya akan menjadi bahan gunjingan dan dipandang rendah oleh semua orang.